KONFLIK
SOSIAL DALAM PERSPEKTIF STRUKTUR DAN FUNGSI
A.
Pendahuluan
Dalam kehidupan sosial
manusia, di mana saja dan kapan saja, tidak pernah lepas dari apa yang disebut
“konflik” (Chandra, 199w; Lauer, 1993). Istilah konflik secara etimologis
berasal dari bahasa Latin ”con” yang berarti bersama ”fligere” yang berarti
benturan dan tabrakan. Dengan demikian ”konflik” dalam kehiupan sosial benturan
kepentingan, keinginan, pendapat, dan lain-lain, yang paling tidak, melibatkan
dua pihak atau lebih. William Chang (2001) mempertanyakan”benarkah konflik
soaial hanya berakar pada ketidakpuasan batin, kecemburuan, iri hati,
kebencian, masalah perut, masalah tanah, masalah tempat tinggal, masalah
pekerjaan, masalah uang, dan masalah keuangan?”, ternyata jawabannya ”tidak”;
dan dinyatakan oleh Chang bahwa emosi manusia sesaat pun dapat memicu
terjadinya konflik sosial.
Dalam International Encyclopedia of the Social
Sciences VOL. 3 (hal. 236-241) diuraikan mengenai pengertian konflik dari aspek
antropologi, yakni ditimbulkan sebagai akibat dari persaingan antara paling
tidak dua pihak; di mana tiap-tiap pihak dapat berupa perorangan, keluarga,
kelompok kekerabatan, satu komunitas, atau mungkin satu lapisan kelas sosial
pendukung ideologi tertentu, satu organisasi politik, satu suku bangsa, atau
satu pemeluk agam tertentu (Nader, t.t.). dengan demikian pihak-pihak dapat
terlibat dalam konflik meliputi banyak macam bentuk dan ukurannya. Selain itu,
dapat pula dipahami bahwa pengertian konflik secara antropologis tersebut tidak
berdiri sendiri, melainkan secara bersama-sama dengan pengertian konflik
menurut aspek-aspek lain yang semuanya itu turut ambil bagian dalam memunculkan
konflik sosial dalam kehidupan kolektif manusia (Chang, 2001).
Kehidupan sosial itu, kalau dicermati komponen
utamanya adalah interaksi antara para anggota. Tipe-tipe interaksi sosial
secara umum
meliputi: cooperative (kerjasama), competition(persaingan)
dan conflict (pertikaian). Dalam kehidupan sosial sehari-hari tampaknya
selain diwarnai oleh kerjasama, senantiasa juga diwarnai oleh berbagai bentuk
persaingan dan konflik. Bahkan dalam kehidupan sosial tidak pernah ditemukan
seluruh warganya sepanjang masa bersifat kooperatif. Sehubungan dengan itu,
yang menjadi pertanyaan dalam tulisan ini adalah, apakah konflik ini erat
hubungannya dengan struktur sosial, dan apa fungsi konflik itu bagi kehidupan
sosial manusia?
B.
Konflik Sosial, Struktur-Fungsi, dan Integrasi
Kondisi kehidupan
sosial tertentu kalau dikaitkan dengan konflik, tentunya tidak sederhana,
karena setiap konflik antaranggota dalam kehidupan sosial itu tidak selalu
bentuk dan sifatnya sama (misalnya ada konflik individual atau kelompok,
konflik terpendam atau terbuka, dan lain-lain). Dengan demikian memang ada
variasi dalam konflik, baik atas dasar bentuk, sifat, penyebab terjadinya,
maupun langkah penyelesaiannya.
Selanjutnya dapat dijelaskan pula bahwa dalam
persoalan konflik ini perlu diperhatikan konteks struktur dan fungsi dalam
kehidupan sosial tertentu sebagai suatu unit entitas akan berpengaruh terhadap
konflik yang terjadi di situ.
1.
Struktur
Peter M. Blau (1997)
menyatakan bahwa struktur sosial adalah penyebaran secara kuantitatif warga
komunitas di dalam berbagai posisi sosial yang berbeda yang mempengaruhi
hubungan di antara mereka (termasuk di dalamnya hubungan konflik).
Karakteristik pokok dari struktur yaitu adanya berbagai tingkat ketidaksamaan
atau keberagaman antarbagian dan konsolidasi yang timbul dalam kehidupan
bersama, sehingga mempengaruhi derajat hubungan antarbagian tersebut yang
berupa dominasi, eksploitasi, konflik, persaingan, dan kerjasama. Selanjutnya
Blau mengelompokkan basis parameter pembedaan struktur menjadi dua, yaitu
nominal dan gradual. Parameter nominal membagi komunitas menjadi sub-sub bagian
atas dasar batas yang cukup jelas, seperti agama, ras, jenis kelamin,
pekerjaan, marga, tempat kerja, tempat tinggal, afiliasi politik, bahasa,
nasionalitas, dan sebagainya. Kalau dicermati, pengelompokan ini bersifat
horizontal, dan akan melahirkan berbagai ”golongan”. Adapun parameter gradual
membagi komunitas k dalam kelompok sosial atas dasar peringkat status yang
menciptakan perbedaan kelas, seperti pendidikan, pendapatan, kekayaan,
prestise, kekuasaan, kewibawaan, itelegensia, dan sebagainya. Jadi pengelompokan
ini bersifat vertikal, yang akan melahirkan berbagai ”lapisan.”
Atas dasar struktur sosial yang dikemukakan Blau di
atas, dapat disebutkan bahwa interaksi antarbagian dalam kehidupan bersama
dapat terjadi antarkelompok, baik atas dasar parameter nominal maupun gradual;
bahkan tidak hanya secara internal tetapi dapat juga secara eksternal.
Interaksi antarbagian dalam kehidupan sosial, atas dasar parameter nominal atau
gradual dapat menimbulkan konflik antarindividu anggota dari berbagai
”golongan” dan ”lapisan” tadi. Sementara itu, menurut Dahrendorf (1986),
konflik sosial mempunya sumber struktural, yakni hubungan kekuasaan yang
berlaku dalam struktur organisasi sosial. Dengan kata lain, konflik
antarkelompok dapat dilihat dari sudut keabsahan hubungan kekuasaan yang ada
atau dari sudut strukur sosial setempat (Dahrendorf, 1986; Simanjuntak, 1994).
2.
Fungsi
Berdasarkan konsep
Parsons (1951), setiap sistem sosial diperlukan persyaratan fungsional. Di
antara persyaratan itu dijelaskan bahwa sistem sosial harus dapat menyesuaikan
diri dengan lingkungan dan dengan tuntutan transformasi pada setiap kondisi
tindakan warga (adaptation). Berikutnya, tindakan warga diarahkan untuk
mencapai tujuan bersama (goal attainment). Kemudian persyaratan lain adalah
bahwa dalam interaksi antarwarga setidaknya harus ada suatu tingkat
solidaritas, agar struktur dan sistem sosial berfungsi (integration). Tampaknya
apa yang dikemukakan Parsons itu cukup relevan untuk dipakai sebagai salah satu
dasar dalam menganalisis secara struktural dan fungsional konflik sosial; dan
atas dasar konsep Parsons ini pengetahuan mengenai konflik sosial akan lebih
memadai. Sehubungan dengan itu Coser (t.t.) menyatakan bahwa konflik adalah
suatu komponen penting dalam setiap interaksi sosial. Oleh karena itu, menurut
Coser (1974), konflik tidak perlu dihindari, sebab konflik tidak boleh
dikatakan selalu tidak baik atau memecah belah atau merusak. Dengan kata lain,
konflik dapat menymbang banyak bagi kelestarian kehidupan sosial, bahkan
mempercepat hubungan antaranggota.
Berbicara tentang fungsi ternyata tidak hanya
sekadar berkait dengan hal peran. Relasi fungsi tidak selalu terpadu
(integratif) karena dapat saja relasi yang saling berkonflik, lebih-lebih kalau
di dalamnya ada fraksi. Dalam fungsi terdapat struktur, dalam fakta sosial
terdapat struktur dan fungsi yang terkait erat (kalau tanpa kaitan berarti
bukan struktur. Teori fungsi tidak dirancang dalam kaitannya dengan perubahan
sehingga antara keduanya sulit untuk dikaitkan. Sering teori ini hany terbatas
menyangkut hubungan-hubungan yang serasi atau seimbang (equilibrium) saja, dan
kurang mampu melihat potensi-potensi konflik yang mungkin ada (Brown, 1980).
Pencampuran teori ini dengan teori perubahan baru muncul kemudian. Berbicara
khusus tentang perubahan, umumnya menyangkut prilaku, ini pun memerlukan waktu
yang panjang. Hanya perubahan yang radikal yang dapat mengubah struktur dan
fungsi.
3.
Institusi Sosial dan Kaitannya dengan Struktur dan Fungsi
Bronislaw Malinowski
dalam membuat deskripsi etnografi, sedapata mungkin menerapkan teori
fungsional, meskipun tidak semuanya berhasil. Menurutnya, manusia dalam
memenuhi kebutuhan secara individual tetapi melalui kehidupan bersama (sosial)
secara terorganisasi atau tertata dalam hukum atau nilai-nilai tertentu.
Sehubungan dengan itu, tujuan akhir yang mereka capai adalah kesepakatan
bersama. Kesepakatan bersama mengenai tujuan-tujuan ini akan dicapai atas dasar
nilkai-nilai umum yang berlaku. Semua ini, menurut Malinowski, disebut charter,
yang diartikan sebagai suatu sistem yang terorganisasi tentang
aktivitas-aktivitas sosial yang penuh tujuan (yang didasarkan atas nilai umum
dan kesepakatanh bersama). Sistem nilai dan tujuan bersama ini dapat
diartikulasikan secara lebih kongkret menjadi norma. Prinsip-prinsip integrasi
akan tercermin dalam institusi sosial, dan inilah basic needs manusia.
Prinsip-prinsip integrasi ini merupakan bagian dari basic needs itu sendiri.
Semntara responnya adalah kebudayaan yang diwujudkan dalam pembentukan
institusi-institusi sosial. Kebudayaan sebagai respon basic needs dapat
diindikasikan sebagai instrumen untuk mencapai tujuan, sehingga memuaskan basic
needs tersebut (Malinowski, 1960; Brown, 1980).
Radxliffe Brown dengan pendekatan
antropologi-sosialnya ternyata seperti metode yang diterapkan dalam ilmu alam
atau fisika. Dengan pendekatan komparasi untuk memperoleh pemahaman tentang
keseluruhan komunitas. Adapun hal yang dikomparasikan adalah struktur
keseluruhan komunitas dan bukan bagian-bagian. Dalam hal ini, sebenarnya Brown
mengadopsi apa yang pernah dikerjakan oleh Emile Durkheim, sebelum akhirnya
berubah ke pendekatan analisis struktural. Fungsionalisme Brown untuk membentuk
suatu struktur sosial dalam konteks masa kini (tanpa menggunakan fakta
historis, karena dianggap tidak tyerlalu berguna). Hal yang ditekankan adalah
proses yang berkaitan dengan adaptasi pada masyarakat atau komunitas yang
diteliti itu sendiri (Brown, 1980). Mengenai konsep institusi dikenal perbedaan
pendekatan antara Brown dengan Malinowski. Brown menganggap komunitas sebagai
keutuhan lebih berarti daripada sebagai bagian-bagian yang dikumpulkan.
Sementara itu, menurut Malinowski, institusi trerbentuk bukan karena basic
needs komunitas, tetapi pemenuhan basic needs individu; karena pemenuhan kebutuhan
tidak mungkin dapat dipenuhi sendiri (jadi diperlukan keberadaan orang
lain). Sehubungan perlunya keberadaan orang lain, Firth (1963)
menyatakan: ”a human community is a body people sharing in common
activities and bound by multiple relationship in such a way that the aims of
any individuals can be achieved only by partisipation in action with others.”
4. Integrasi dan Konflik Sosial
Dari uraian di atas dapat dikemukakan bahwa
Malinowski dan Brown mengajukan teori integrasi keseimbangan dan keharmonisan
sosial, sedangkan konflik mengacu pertentangan dalam komunitas menuju
perpecahan. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah kalau integrasi dan konflik
(dua hal yang saling bertolak belakang) senantiasa adalam kehidupan sosial,
lalu bagaimana keterkaitan antar keduanya, paling tidak, apa fungsi konflik
bagi kehidupan sosial yang bersangkutan.
Menurut van Baal (1988), konflik adalah produk
kebudayaan, dan kebudayaan adalah produk dari struktur sosial. Melalui
pengetahuan ada tidaknya hubungan struktural dan fungsional dalam kehidupan
sosial, akan memudahkan penyelesaian kasus konflik yang selalu atau akan selalu
terjadi di dalamnya.
Fakta sosial, menurut Durkheim, bukan sekadar apa
yang dilihat, tetapi juga apa yang ada di dalmnya yang tidak dapt dilihat.
Semua gejala sosial seharusnya dipahami sebagai hasil dari sikap dan prilaku
manusia secara individual. Faktor sikap dan prilaku para individu ini yang
menggambarkan keberadaan suatu kehidupan sosial. Fakta sosial (termasuk faktor
kebudayaan di dalamnya)-lah yang mengenndalikan individu, dan buykan individu
yang mengatur kehidupan sosial. Dalam hal ini, fakta sosial terbentuk secara
alami dan posisinya eksternal. Eksternal yyang dimaksud di sini adalah dalam
posisi sebagai pengendali diri individu dalam kehidupan bersama.
C.
Pendekatan Struktural-Fungsional terhadap Konflik: Upaya Memahami Penyebab dan
Penyelesaian Konflik
Pendekatan terhadap
konflik dapat diterapkan dengan memperhatikan aspek struktural dan fungsional
dari kehidupan sosial setempat. Pendekatan struktural-fungsional ini sudah
berkembang sejak lama dalam studi Antropologi dan Sosiologi. Terkait dengan
pendekatan struktural-fungsional ini secara khusus mengingatkan kita pada
nama-nama, seperti: Bronislaw Malinowsky dan Radcliffe Brown dan yang kemudian
diikuti antara lain oleh Talcott Parson dan Lewis A. Coser yang pernah
melakukan analisis konflik dengan pendekatan fungsional (Johnson, 1990). Konsep
fungsi juga melibatkan struktur yang terjadi dalam satu rangkaian hubungan di
antara kesatuan entitas, di mana bertahannya struktur didukung oleh proses
kehidupan yang terjadi dalam aktivitas kesatuan yang terdapat di dalamnnya
(Brown, 1980). Selanjutnya, dikemukakan bahwa tiap-tiap persoalan dalam
kehidupan setiap komunitas itu mempunyai fungsi.
Pada hakikatnya,
konflik sebagai salah satu bentuk interaksi antaranggota dalam kehidupan sosial
telah ada sejak manusia hidup bersama. Beberapa contoh variasi penyebab
terjadinya konflik, meskipun tidak dari awal, dapat dikemukakan sebagai
berikut. Sejak zaman kolonial, telah terjadi kecenderungan pemusatan pemilikan
dan penguasaan atas tanah pertanian yang dikuasi oleh sejumlah kecil petani,
yakni petani lapisan atas tadi. Sebaliknya petani lapisan bawah hanya menguasai
sebagian kecil tanah pertanian yang ada di suatu desa tertentu. Polarisasi
tanah seperti itu telah menyebabkan terjadinya polarisasi sosial, yaitu proses
perenggangan dan pertentangan antarlapisan sosial di pedesaan (Amaludin, 1987),
yang pada gilirannya akan menjadi penyebab timbulnya konflik sosial.
Belakangan ini,
kemajuan dalam bidang komunikasi juga berdampak sama pesat bagi warga kota dan
komunitas pedesaan. Pengaruh globalisasi informasi dan komunikasi bagi warga
kominitas pedesaan umumnya cenderung mempertahankan tata nilai tradisional di
satu pihak dan cenderung meninggalkan tata nilai tersebut di pihak yang lain.
Sebab efek dari hilangnya isolasi komunitas desa dengan dunia luar adalah
terganggunya ciri-ciri kehidupan komunitas desa yang murni, bersamaan dengan
berkembangnya anggota komunitas itu sendiri (Leibo, 1995). Para anggota
generasi tua cenderung berada pada kelompok yang mempertahankan tata nilai
tradisional, sedangkan generasi muda berada pada kelompok yang berlawanan.
Batasan mengenai apa yang boleh dan yangtidak boleh pun mulai dipertentangkan.
Perbedaan pandangan antara dua generasi ini akan menimbulkan kesenjangan sosial
dan persinggungan budaya yang dapat berakibat fatal bagi keutuhan masyarakat
(Depdikbud, 1993).
Sementara itu, upaya
pencegahan untuk tidak terlalu banyaknya kasus konflik dalam suatu komunitas,
adalah membuat warga menghormati dan mematuhi peraturan. Selain itu, penanaman
rasa takut akan balas dendam adalah alat pemaksa bagi warga komunitas untuk
mematuhi peraturan yang berlaku. Satu bentuk penyelesaian konflik seperti yang
di kalangan orang Ifago (filipina) adalah berperannya tokoh penengah. Cara
pemanfaatn peran penengah ini digarap sebagai langkah pertama dalam upaya
penyelesaian konflik secara lebih trorganisasi (van Baal, 1988).
D. Penutup
Berbicara tentang struktur dan fungsi serta
hubungannya dengan persoalan konflik, bukanlah suatu yang sederhana. Struktur
maupun fungsi, dalam setiap kehidupan sosial mungkin mempunyai struktur dan
fungsi masing-masing yang saling berbeda. Begitu pula halnya dengan konflik,
tidak selalu sama, ada konflik individual, konflik kelompok, konflik terteutup,
konflik terbuka dan lain-lain. Namun, sesuatu hal yang jelas, apapun bemtuk
konflik yang terjadi di suatu daerah tentunya perlu dianalisis dalam kedudukannya
yang tidak dapat dilepaskan dari struktur dan fungsi yang ada pada komunitas
yang bersangkutan. Dengan kata lain, konflik tidak dapat dilepaskan dari
struktur sosial yang ada, dan konflik pada hakikatnya berfungsi bagi
terciptanya integrasi kehidupan sosial.
Oleh karena itu, upaya untuk studi mengenai
persoalan konflik sosial ini, memerlukan kearifan dan kecermatan analisis
tersendiri, baik dalam memilih cara pendekatan maupun tujuan yang ingin
dicapai. Selain itu, berbicara tentang konflik tidak terbatas pada proses
terjadinya, melainkan juga perlu dipahami latar belakang penyebab terjadinya
(kenyataannya sangat banyak faktor yang menyebabkan terjadinya konflik,
termasuk manusia sering mementingkan diri sendiri dan berani memanipulasi norma
demi keuntungan pribadi), cara-cara penyelesaiannya (ada yang secara eksternal
seperti melalui polisi atau pemerintah, bisa secara internal yang mendasarkan
pada resolusi lokal), dan juga fungsi konflik tersebut bagi warga komunitas
yang bersangkutan.
Daftar Bacaan
Amaluddin, M. 1987. Kemiskinan dan Polarisasi
Sosial. Jakarta. UI Press.
Blau, Peter M. 1977. Inequality andd
Heterogenity. London. Collier Macmillan Publishers.
Brown, A.R. Radcliffe. 1980. Struktur dan
Fungsi dalam Masyarakat Primitif. Kuala Lumpur. Dewan Bahasa dan Pustaka.
Chandra, Robby I. 1992. Konflik dalam Hidup
Seharu-hari. Yogyakarta. Kanisius.
Chang, William. 2001. ”Dimensi Etis Konflik
Sosial. Kompas, Rabu 2 Februari 2001.
Dahrendorf, Ralf. 1986. Konflik dan Konflik
dalam Masyarakat Industri: Sebuah Analisa Kritik. Yogyakarta. Rajawali.
Depdikbud. 1993. Dampak Globalisasi Informasi
dan Komunikasi terhadap Kehidupan Sosial Budaya Masyarakat di Daerah NTB.
Mataram. Depdikbud Provinsi NTB.
Leibo, J. 1995. Sosiologi Pedesaan: Mencari Suatu
Strategi Pembangunan Masyarakat Desa Berparadigma Ganda. Yogyakarta. Andi
Offset.
Malinowski, Bronislaw. 1960. A Scientific
Theory of Culture and Other Essays. New York. Oxford University Press.
Van Baal, J. 1988. Sejarah dan Pertumbuhan Teori Antropologi
Budaya (Hingga Dekade 1970).Jakarta. Gramedia.
Sumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar