Selasa, 03 Juli 2012


KONFLIK SOSIAL DALAM PERSPEKTIF STRUKTUR DAN FUNGSI
  
A. Pendahuluan
Dalam kehidupan sosial manusia, di mana saja dan kapan saja, tidak pernah lepas dari apa yang disebut “konflik” (Chandra, 199w; Lauer, 1993). Istilah konflik secara etimologis berasal dari bahasa Latin ”con” yang berarti bersama ”fligere” yang berarti benturan dan tabrakan. Dengan demikian ”konflik” dalam kehiupan sosial benturan kepentingan, keinginan, pendapat, dan lain-lain, yang paling tidak, melibatkan dua pihak atau lebih. William Chang (2001) mempertanyakan”benarkah konflik soaial hanya berakar pada ketidakpuasan batin, kecemburuan, iri hati, kebencian, masalah perut, masalah tanah, masalah tempat tinggal, masalah pekerjaan, masalah uang, dan masalah keuangan?”, ternyata jawabannya ”tidak”; dan dinyatakan oleh Chang bahwa emosi manusia sesaat pun dapat memicu terjadinya konflik sosial.
Dalam International Encyclopedia of the Social Sciences VOL. 3 (hal. 236-241) diuraikan mengenai pengertian konflik dari aspek antropologi, yakni ditimbulkan sebagai akibat dari persaingan antara paling tidak dua pihak; di mana tiap-tiap pihak dapat berupa perorangan, keluarga, kelompok kekerabatan, satu komunitas, atau mungkin satu lapisan kelas sosial pendukung ideologi tertentu, satu organisasi politik, satu suku bangsa, atau satu pemeluk agam tertentu (Nader, t.t.). dengan demikian pihak-pihak dapat terlibat dalam konflik meliputi banyak macam bentuk dan ukurannya. Selain itu, dapat pula dipahami bahwa pengertian konflik secara antropologis tersebut tidak berdiri sendiri, melainkan secara bersama-sama dengan pengertian konflik menurut aspek-aspek lain yang semuanya itu turut ambil bagian dalam memunculkan konflik sosial dalam kehidupan kolektif manusia (Chang, 2001).
Kehidupan sosial itu, kalau dicermati komponen utamanya adalah interaksi antara para anggota. Tipe-tipe interaksi sosial secara umum meliputi: cooperative (kerjasama), competition(persaingan) dan conflict (pertikaian). Dalam kehidupan sosial sehari-hari tampaknya selain diwarnai oleh kerjasama, senantiasa juga diwarnai oleh berbagai bentuk persaingan dan konflik. Bahkan dalam kehidupan sosial tidak pernah ditemukan seluruh warganya sepanjang masa bersifat kooperatif. Sehubungan dengan itu, yang menjadi pertanyaan dalam tulisan ini adalah, apakah konflik ini erat hubungannya dengan struktur sosial, dan apa fungsi konflik itu bagi kehidupan sosial manusia?


B. Konflik Sosial, Struktur-Fungsi, dan Integrasi
Kondisi kehidupan sosial tertentu kalau dikaitkan dengan konflik, tentunya tidak sederhana, karena setiap konflik antaranggota dalam kehidupan sosial itu tidak selalu bentuk dan sifatnya sama (misalnya ada konflik individual atau kelompok, konflik terpendam atau terbuka, dan lain-lain). Dengan demikian memang ada variasi dalam konflik, baik atas dasar bentuk, sifat, penyebab terjadinya, maupun langkah penyelesaiannya.
Selanjutnya dapat dijelaskan pula bahwa dalam persoalan konflik ini perlu diperhatikan konteks struktur dan fungsi dalam kehidupan sosial tertentu sebagai suatu unit entitas akan berpengaruh terhadap konflik yang terjadi di situ.
1. Struktur
Peter M. Blau (1997) menyatakan bahwa struktur sosial adalah penyebaran secara kuantitatif warga komunitas di dalam berbagai posisi sosial yang berbeda yang mempengaruhi hubungan di antara mereka (termasuk di dalamnya hubungan konflik). Karakteristik pokok dari struktur yaitu adanya berbagai tingkat ketidaksamaan atau keberagaman antarbagian dan konsolidasi yang timbul dalam kehidupan bersama, sehingga mempengaruhi derajat hubungan antarbagian tersebut yang berupa dominasi, eksploitasi, konflik, persaingan, dan kerjasama. Selanjutnya Blau mengelompokkan basis parameter pembedaan struktur menjadi dua, yaitu nominal dan gradual. Parameter nominal membagi komunitas menjadi sub-sub bagian atas dasar batas yang cukup jelas, seperti agama, ras, jenis kelamin, pekerjaan, marga, tempat kerja, tempat tinggal, afiliasi politik, bahasa, nasionalitas, dan sebagainya. Kalau dicermati, pengelompokan ini bersifat horizontal, dan akan melahirkan berbagai ”golongan”. Adapun parameter gradual membagi komunitas k dalam kelompok sosial atas dasar peringkat status yang menciptakan perbedaan kelas, seperti pendidikan, pendapatan, kekayaan, prestise, kekuasaan, kewibawaan, itelegensia, dan sebagainya. Jadi pengelompokan ini bersifat vertikal, yang akan melahirkan berbagai ”lapisan.”
Atas dasar struktur sosial yang dikemukakan Blau di atas, dapat disebutkan bahwa interaksi antarbagian dalam kehidupan bersama dapat terjadi antarkelompok, baik atas dasar parameter nominal maupun gradual; bahkan tidak hanya secara internal tetapi dapat juga secara eksternal. Interaksi antarbagian dalam kehidupan sosial, atas dasar parameter nominal atau gradual dapat menimbulkan konflik antarindividu anggota dari berbagai ”golongan” dan ”lapisan” tadi. Sementara itu, menurut Dahrendorf (1986), konflik sosial mempunya sumber struktural, yakni hubungan kekuasaan yang berlaku dalam struktur organisasi sosial. Dengan kata lain, konflik antarkelompok dapat dilihat dari sudut keabsahan hubungan kekuasaan yang ada atau dari sudut strukur sosial setempat (Dahrendorf, 1986; Simanjuntak, 1994).
2. Fungsi
Berdasarkan konsep Parsons (1951), setiap sistem sosial diperlukan persyaratan fungsional. Di antara persyaratan itu dijelaskan bahwa sistem sosial harus dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan dan dengan tuntutan transformasi pada setiap kondisi tindakan warga (adaptation). Berikutnya, tindakan warga diarahkan untuk mencapai tujuan bersama (goal attainment). Kemudian persyaratan lain adalah bahwa dalam interaksi antarwarga setidaknya harus ada suatu tingkat solidaritas, agar struktur dan sistem sosial berfungsi (integration). Tampaknya apa yang dikemukakan Parsons itu cukup relevan untuk dipakai sebagai salah satu dasar dalam menganalisis secara struktural dan fungsional konflik sosial; dan atas dasar konsep Parsons ini pengetahuan mengenai konflik sosial akan lebih memadai. Sehubungan dengan itu Coser (t.t.) menyatakan bahwa konflik adalah suatu komponen penting dalam setiap interaksi sosial. Oleh karena itu, menurut Coser (1974), konflik tidak perlu dihindari, sebab konflik tidak boleh dikatakan selalu tidak baik atau memecah belah atau merusak. Dengan kata lain, konflik dapat menymbang banyak bagi kelestarian kehidupan sosial, bahkan mempercepat hubungan antaranggota.
Berbicara tentang fungsi ternyata tidak hanya sekadar berkait dengan hal peran. Relasi fungsi tidak selalu terpadu (integratif) karena dapat saja relasi yang saling berkonflik, lebih-lebih kalau di dalamnya ada fraksi. Dalam fungsi terdapat struktur, dalam fakta sosial terdapat struktur dan fungsi yang terkait erat (kalau tanpa kaitan berarti bukan struktur. Teori fungsi tidak dirancang dalam kaitannya dengan perubahan sehingga antara keduanya sulit untuk dikaitkan. Sering teori ini hany terbatas menyangkut hubungan-hubungan yang serasi atau seimbang (equilibrium) saja, dan kurang mampu melihat potensi-potensi konflik yang mungkin ada (Brown, 1980). Pencampuran teori ini dengan teori perubahan baru muncul kemudian. Berbicara khusus tentang perubahan, umumnya menyangkut prilaku, ini pun memerlukan waktu yang panjang. Hanya perubahan yang radikal yang dapat mengubah struktur dan fungsi.
3. Institusi Sosial dan Kaitannya dengan Struktur dan Fungsi
Bronislaw Malinowski dalam membuat deskripsi etnografi, sedapata mungkin menerapkan teori fungsional, meskipun tidak semuanya berhasil. Menurutnya, manusia dalam memenuhi kebutuhan secara individual tetapi melalui kehidupan bersama (sosial) secara terorganisasi atau tertata dalam hukum atau nilai-nilai tertentu. Sehubungan dengan itu, tujuan akhir yang mereka capai adalah kesepakatan bersama. Kesepakatan bersama mengenai tujuan-tujuan ini akan dicapai atas dasar nilkai-nilai umum yang berlaku. Semua ini, menurut Malinowski, disebut charter, yang diartikan sebagai suatu sistem yang terorganisasi tentang aktivitas-aktivitas sosial yang penuh tujuan (yang didasarkan atas nilai umum dan kesepakatanh bersama). Sistem nilai dan tujuan bersama ini dapat diartikulasikan secara lebih kongkret menjadi norma. Prinsip-prinsip integrasi akan tercermin dalam institusi sosial, dan inilah basic needs manusia. Prinsip-prinsip integrasi ini merupakan bagian dari basic needs itu sendiri. Semntara responnya adalah kebudayaan yang diwujudkan dalam pembentukan institusi-institusi sosial. Kebudayaan sebagai respon basic needs dapat diindikasikan sebagai instrumen untuk mencapai tujuan, sehingga memuaskan basic needs tersebut (Malinowski, 1960; Brown, 1980).
Radxliffe Brown dengan pendekatan antropologi-sosialnya ternyata seperti metode yang diterapkan dalam ilmu alam atau fisika. Dengan pendekatan komparasi untuk memperoleh pemahaman tentang keseluruhan komunitas. Adapun hal yang dikomparasikan adalah struktur keseluruhan komunitas dan bukan bagian-bagian. Dalam hal ini, sebenarnya Brown mengadopsi apa yang pernah dikerjakan oleh Emile Durkheim, sebelum akhirnya berubah ke pendekatan analisis struktural. Fungsionalisme Brown untuk membentuk suatu struktur sosial dalam konteks masa kini (tanpa menggunakan fakta historis, karena dianggap tidak tyerlalu berguna). Hal yang ditekankan adalah proses yang berkaitan dengan adaptasi pada masyarakat atau komunitas yang diteliti itu sendiri (Brown, 1980). Mengenai konsep institusi dikenal perbedaan pendekatan antara Brown dengan Malinowski. Brown menganggap komunitas sebagai keutuhan lebih berarti daripada sebagai bagian-bagian yang dikumpulkan. Sementara itu, menurut Malinowski, institusi trerbentuk bukan karena basic needs komunitas, tetapi pemenuhan basic needs individu; karena pemenuhan kebutuhan tidak mungkin dapat dipenuhi sendiri (jadi diperlukan keberadaan orang lain). Sehubungan perlunya keberadaan orang lain, Firth (1963) menyatakan: ”a human community is a body people sharing in common activities and bound by multiple relationship in such a way that the aims of any individuals can be achieved only by partisipation in action with others.”
4. Integrasi dan Konflik Sosial
Dari uraian di atas dapat dikemukakan bahwa Malinowski dan Brown mengajukan teori integrasi keseimbangan dan keharmonisan sosial, sedangkan konflik mengacu pertentangan dalam komunitas menuju perpecahan. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah kalau integrasi dan konflik (dua hal yang saling bertolak belakang) senantiasa adalam kehidupan sosial, lalu bagaimana keterkaitan antar keduanya, paling tidak, apa fungsi konflik bagi kehidupan sosial yang bersangkutan.
Menurut van Baal (1988), konflik adalah produk kebudayaan, dan kebudayaan adalah produk dari struktur sosial. Melalui pengetahuan ada tidaknya hubungan struktural dan fungsional dalam kehidupan sosial, akan memudahkan penyelesaian kasus konflik yang selalu atau akan selalu terjadi di dalamnya.
Fakta sosial, menurut Durkheim, bukan sekadar apa yang dilihat, tetapi juga apa yang ada di dalmnya yang tidak dapt dilihat. Semua gejala sosial seharusnya dipahami sebagai hasil dari sikap dan prilaku manusia secara individual. Faktor sikap dan prilaku para individu ini yang menggambarkan keberadaan suatu kehidupan sosial. Fakta sosial (termasuk faktor kebudayaan di dalamnya)-lah yang mengenndalikan individu, dan buykan individu yang mengatur kehidupan sosial. Dalam hal ini, fakta sosial terbentuk secara alami dan posisinya eksternal. Eksternal yyang dimaksud di sini adalah dalam posisi sebagai pengendali diri individu dalam kehidupan bersama.






C. Pendekatan Struktural-Fungsional terhadap Konflik: Upaya Memahami Penyebab dan Penyelesaian Konflik
Pendekatan terhadap konflik dapat diterapkan dengan memperhatikan aspek struktural dan fungsional dari kehidupan sosial setempat. Pendekatan struktural-fungsional ini sudah berkembang sejak lama dalam studi Antropologi dan Sosiologi. Terkait dengan pendekatan struktural-fungsional ini secara khusus mengingatkan kita pada nama-nama, seperti: Bronislaw Malinowsky dan Radcliffe Brown dan yang kemudian diikuti antara lain oleh Talcott Parson dan Lewis A. Coser yang pernah melakukan analisis konflik dengan pendekatan fungsional (Johnson, 1990). Konsep fungsi juga melibatkan struktur yang terjadi dalam satu rangkaian hubungan di antara kesatuan entitas, di mana bertahannya struktur didukung oleh proses kehidupan yang terjadi dalam aktivitas kesatuan yang terdapat di dalamnnya (Brown, 1980). Selanjutnya, dikemukakan bahwa tiap-tiap persoalan dalam kehidupan setiap komunitas itu mempunyai fungsi.
Pada hakikatnya, konflik sebagai salah satu bentuk interaksi antaranggota dalam kehidupan sosial telah ada sejak manusia hidup bersama. Beberapa contoh variasi penyebab terjadinya konflik, meskipun tidak dari awal, dapat dikemukakan sebagai berikut. Sejak zaman kolonial, telah terjadi kecenderungan pemusatan pemilikan dan penguasaan atas tanah pertanian yang dikuasi oleh sejumlah kecil petani, yakni petani lapisan atas tadi. Sebaliknya petani lapisan bawah hanya menguasai sebagian kecil tanah pertanian yang ada di suatu desa tertentu. Polarisasi tanah seperti itu telah menyebabkan terjadinya polarisasi sosial, yaitu proses perenggangan dan pertentangan antarlapisan sosial di pedesaan (Amaludin, 1987), yang pada gilirannya akan menjadi penyebab timbulnya konflik sosial.
Belakangan ini, kemajuan dalam bidang komunikasi juga berdampak sama pesat bagi warga kota dan komunitas pedesaan. Pengaruh globalisasi informasi dan komunikasi bagi warga kominitas pedesaan umumnya cenderung mempertahankan tata nilai tradisional di satu pihak dan cenderung meninggalkan tata nilai tersebut di pihak yang lain. Sebab efek dari hilangnya isolasi komunitas desa dengan dunia luar adalah terganggunya ciri-ciri kehidupan komunitas desa yang murni, bersamaan dengan berkembangnya anggota komunitas itu sendiri (Leibo, 1995). Para anggota generasi tua cenderung berada pada kelompok yang mempertahankan tata nilai tradisional, sedangkan generasi muda berada pada kelompok yang berlawanan. Batasan mengenai apa yang boleh dan yangtidak boleh pun mulai dipertentangkan. Perbedaan pandangan antara dua generasi ini akan menimbulkan kesenjangan sosial dan persinggungan budaya yang dapat berakibat fatal bagi keutuhan masyarakat (Depdikbud, 1993).
Sementara itu, upaya pencegahan untuk tidak terlalu banyaknya kasus konflik dalam suatu komunitas, adalah membuat warga menghormati dan mematuhi peraturan. Selain itu, penanaman rasa takut akan balas dendam adalah alat pemaksa bagi warga komunitas untuk mematuhi peraturan yang berlaku. Satu bentuk penyelesaian konflik seperti yang di kalangan orang Ifago (filipina) adalah berperannya tokoh penengah. Cara pemanfaatn peran penengah ini digarap sebagai langkah pertama dalam upaya penyelesaian konflik secara lebih trorganisasi (van Baal, 1988).






D. Penutup
Berbicara tentang struktur dan fungsi serta hubungannya dengan persoalan konflik, bukanlah suatu yang sederhana. Struktur maupun fungsi, dalam setiap kehidupan sosial mungkin mempunyai struktur dan fungsi masing-masing yang saling berbeda. Begitu pula halnya dengan konflik, tidak selalu sama, ada konflik individual, konflik kelompok, konflik terteutup, konflik terbuka dan lain-lain. Namun, sesuatu hal yang jelas, apapun bemtuk konflik yang terjadi di suatu daerah tentunya perlu dianalisis dalam kedudukannya yang tidak dapat dilepaskan dari struktur dan fungsi yang ada pada komunitas yang bersangkutan. Dengan kata lain, konflik tidak dapat dilepaskan dari struktur sosial yang ada, dan konflik pada hakikatnya berfungsi bagi terciptanya integrasi kehidupan sosial.
Oleh karena itu, upaya untuk studi mengenai persoalan konflik sosial ini, memerlukan kearifan dan kecermatan analisis tersendiri, baik dalam memilih cara pendekatan maupun tujuan yang ingin dicapai. Selain itu, berbicara tentang konflik tidak terbatas pada proses terjadinya, melainkan juga perlu dipahami latar belakang penyebab terjadinya (kenyataannya sangat banyak faktor yang menyebabkan terjadinya konflik, termasuk manusia sering mementingkan diri sendiri dan berani memanipulasi norma demi keuntungan pribadi), cara-cara penyelesaiannya (ada yang secara eksternal seperti melalui polisi atau pemerintah, bisa secara internal yang mendasarkan pada resolusi lokal), dan juga fungsi konflik tersebut bagi warga komunitas yang bersangkutan.

Daftar Bacaan
Amaluddin, M. 1987. Kemiskinan dan Polarisasi Sosial. Jakarta. UI Press.

Blau, Peter M. 1977. Inequality andd Heterogenity. London. Collier Macmillan Publishers.

Brown, A.R. Radcliffe. 1980. Struktur dan Fungsi dalam Masyarakat Primitif. Kuala Lumpur. Dewan Bahasa dan Pustaka.

Chandra, Robby I. 1992. Konflik dalam Hidup Seharu-hari. Yogyakarta. Kanisius.

Chang, William. 2001. ”Dimensi Etis Konflik Sosial. Kompas, Rabu 2 Februari 2001.

Dahrendorf, Ralf. 1986. Konflik dan Konflik dalam Masyarakat Industri: Sebuah Analisa Kritik. Yogyakarta. Rajawali.

Depdikbud. 1993. Dampak Globalisasi Informasi dan Komunikasi terhadap Kehidupan Sosial Budaya Masyarakat di Daerah NTB. Mataram. Depdikbud Provinsi NTB.

Leibo, J. 1995. Sosiologi Pedesaan: Mencari Suatu Strategi Pembangunan Masyarakat Desa Berparadigma Ganda. Yogyakarta. Andi Offset.

Malinowski, Bronislaw. 1960. A Scientific Theory of Culture and Other Essays. New York. Oxford University Press.

Van Baal, J. 1988. Sejarah dan Pertumbuhan Teori Antropologi Budaya (Hingga Dekade 1970).Jakarta. Gramedia.


                                                                                    Sumber
                                                                                    http://astarhadi.blog.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar